Penjahat Tetaplah Penjahat Ketika Tidak Merasa Bersalah

 Sudah lebih dari sekian hari kami bersama,

sudah sekian tahun melangkah tanpa kepastian.

Kemudian, hari itu dia datang dengan maksud ingin memberi kepastian. Dengan percaya diri dia datang untuk memberitahu maksud dan tujuannya pada orangtua saya, dan disambut dengan nasihat-nasihat konvensional yang terasa memberatkan hati. Saya tak siap, dalam banyak arti. Bahwa untuk berpisah dari keluarga saya adalah sebuah kesukaran yang besar, dan sungguh berat bagi saya. Saya tak siap, sebenarnya. Ketika hanya kedatangan dan pengakuan semu lalu menghilang tanpa kabar akhirnya.

Sepertinya, di pikiran dia, setelah memberitahu kepada orangtua tujuan dari hubungan ini, dia merasa tak perlu lagi berkabar dan menampakkan diri. Hanya menggunggah foto di media sosial, sebagai suatu formalitas. Dan artinya, dia hanya memberi kepastian semu.

Untuk apa saya terlalu berharap pada pengakuan itu? Untuk apa saya terlalu mendambakan kepastian dari orang yang hanya berucap di bibir saja? Sepertinya tidak mudah bagi siapapun, termasuk dia dan saya.

Pernah di lain waktu, dia jugalah yang mengatakan bahwa keluarga saya alasan mengapa segala sesuatu tidak ada ujungnya. Dan, dia bahkan tak ingin ke rumah karena merasa tak disambut oleh orangtua saya. Sungguh dengan tidak habis pikir saya tidak ingin lagi memaksakan pemikiran keluarga dan saya kepadanya. Ketika orang dengan karakter sepertinya (superior dan idealis) 'dilukai' dengan suatu pernyataa, maka percuma jika diberi penjelasan agar melunak. Dia akan bersikeras dan merasa diri paling disudutkan. Sehingga pada akhirnya, saya malas mengajaknya berkunjung ke rumah. Saya tidak ingin juga keluarga saya dikambing hitamkan atas hal-hal yang dia rasa 'melukai'.

Bukankah dia juga sudah cukup banyak melukai saya? Secara sadar dan tanpa merasa bersalah. Karena itu saya semakin jenuh untuk mengartikan hubungan kami ini. Sepertinya sudah cukup dengan pengakuan itu, saya tak ingin lagi mengharapkan apa-apa.

Berulang kali dia mengucapkan kata putus untuk menyudahi hubungan, dan berulang kali dia kembali dengan tidak merasa bersalah. Seperti tidak ada badai kemarin (padahal hati saya sudah porak poranda). Dua kali saja, cukup dua kali saya mengucapkan kata putus dan dia menjadi gusar. Sekiranya dia tahu, bahwa mengatakan kata itu sangat tabu dan (harusnya) sulit. Tidak bisa semena-mena diucapkan, apalagi ketika dia sudah berjanji pada orangtua saya menikah di tahun depan.

Pada akhirnya, saya memaklumi setiap sikap dan perilaku. Sikapnya yang pergi dan tak berkabar, atau saat slow responds. Online tapi tak membalas chat, dan banyak hal lain yang sudah menjadi konsumsi saya sehari-hari. Dan pada suatu ketika, saya benar-benar tidak mengharapkan apapun dari hubungan ini. Saya merasa sudah cukup tabungan saya untuk jalan-jalan, atau untuk membeli barang idaman saya. Usia yang belum terlalu tua di kalangan saya juga menjadikan saya yakin untuk mencapai mimpi-mimpi besar yang saya inginkan selama ini.

Komentar

Postingan Populer