Pentingkah itu?

"Pentingkah itu?"
Ini bukan sebuah pertanyaan, tapi pernyataan. Saat sesuatu yang dianggap  berharga nilainya, dipatahkan dengan sepenggal kalimat itu, dan dirasa tidak ada artinya.
Memang pada akhirnya saya tersadar, tingkat kepentingan seseorang akan suatu hal akan lama kelamaan pudar dan tergantikan dengan hal lain yang dirasa lebih berarti, sehingga hal yang saya anggap penting akhirnya tidak ada nilai di mata mereka. Fix, untuk hal satu ini sungguh kejam untuk saya.

Dia merasa tidak penting mempermasalahkan hal-hal prinsip yang dia sendiri bangun dalam hubungan ini. Sehingga pada saat saya mempertanyakannya, dia mengeluarkan kata-kata di awal tulisan ini. Benar adanya, segala sesuatu yang terpola dalam hubungan kami adalah berkat dirinya. Saya akui ada tingkat superior dalam dirinya di mana lebih dominan dirinya mengarahkan saya dalam menjalani hubungan hingga saat ini. Namun, saya merasa heran dengan polahnya yang semakin hari semakin berubah. Dirinyalah sendiri yang menentang keras prinsip yang dia tanamkan, membuat semuanya seolah tak penting dan membenamkan saya sebagai pelaku dari segala kesalahan yang terjadi. Entah bagaimana lagi saya harus menjelaskan bahwa apa yang saya lakukan semata merujuk pada setiap prinsip yang sudah dia torehkan dalam hubungan ini. Tapi apa daya, dia menyerah untuk menganggapnya penting. Dia bilang hal-hal itu sudah tidak penting lagi. Tidak perlu dijadikan "ritual" untuk dijalankan dalam hubungan.
Saya tahu persis penolakan seperti ini. Bukan sekali dua kali saya mendapatkannya, berulang kali saya dihujam keras dengan penolakan yang kian nyata, tidak ada filter ataupun ketumpulan, sungguh menohok jantung saya.

Banyak kata yang terujar, dan semua itu sungguh menyakitkan. Dirinyalah, dirinya sajalah yang mengucapkan begitu banyak pisau tajam dari lidahnya. Dia menyakiti bukan secara fisik, namun verbal. Dan itu membekas terlalu dalam, tak pernah dan takkan hilang.

Dia sendirilah yang bilang ingin cepat-cepat menikah, tapi dia jugalah yang bilang tidak menuju ke jenjang seriuspun dia tidak peduli.

Diapun yang meminta untuk terus mengunggah foto bersama, tapi dia sendirilah yang bilang hal itu sudah tidak penting lagi.

Dia juga yang bilang segala sesuatu harus diselesaikan saat itu juga, tapi dia sendirilah yang pergi entah kemana saat hubungan tidak sedang baik-baik saja.

Saya hanya tidak ingin semuanya seperti menjadi pedang bermata dua bagi saya. Semuanya secara perlahan telah saya mengerti, pelajari dan berusaha penuhi, tapi selalu saja ada celah di mana dia mengatakan saya bersalah.
Saya juga punya banyak keluh kesah, yang sejatinya ingin saya labuhkan kepadanya, ingin saya ceritakan dan mendapat ketenangan batin darinya. Saya juga, menunggunya walau tidak ada kabar hingga berjam-jam. Menantinya bahkan tidak henti mengecek WA saat sedang sibuk.

Tapi semua hal yang ada pada saya sekarang ini menyadarkan saya secara benar bahwa semakin saya bergantung pada dia seorang, saya tidak akan pernah merasa puas dan tenang. Saya akan mengejar dia kemana saja dia pergi, dan akan menunggu dia yang hilang entah kemana. Karena seperti yang sudah saya bilang bahwa kebahagiaan, kesenangan, kehidupan, kewarasan sudah bergantung pada dia seorang. Ketika ada kesalahan dan dia pergi meninggalkan saya, saat itu pula kehidupan saya runtuh dan saya tidak merasa berarti lagi. Padahal saya sudah tahu itu kesalahan fatal. Saya tidak bisa menggantungkan kunci kebahagiaan saya pada saku orang lain, namun tetap saja hanya dia yang saya harapkan dapat membahagiakan dan tetap tinggal walaupun keadaan semakin sulit. Berat untuk mengakui bahwa dia tidak akan selalu ada, dia tidak akan selalu bersama dan dia tidak akan selalu menjadi yang dirindukan. Ada saat dia berubah, menjadi seseorang yang benar-benar berbeda dari yang sebelumnya; yang awalnya sangat penyayang dan tak malu mengungkapkan rasa sayang di manapun dan kapanpun, sekarang memasang foto bersama di media sosial; yang dulunya sangat perhatian dan memberi kabar, sekarang sudah lebih banyak menghilang dan mengirim pesan pada saat malam menjelang tidur saja; yang dulunya selalu mengajak bertemu, pada akhirnya tidak merasa ada yang kurang jika tidak bertemu berhari-hari atau seminggu lamanya; yang biasanya akan minta maaf saat melanggar janji, sekarang malah memarahi balik karena menagih-nagih janji yang tak kunjung dikabulkan.

Hal-hal kecil yang sebenarnya memberi kenyamanan dan arti, akhirnya pudar karena hal-hal yang sepele. Seperti mempermasalahkan komentar di media sosial, atau kenapa nama tidak dicantumkan di biodata WA/FB/IG, atau kenapa tidak menunjukkan status aktif dan indikator telah dibaca.
Permasalahan fatal akhirnya dibenamkan untuk tidak menimbulkan masalah walaupun sangat penting untuk dibicarakan dan dicaritahu kepastiannya.

Saya tidak bisa dengan mudahnya menerima bahwa pasangan bersikap friendly pada semua orang, terutama wanita. Hal itu sungguh di luar nalar saya bahwa pasangan saya memiliki banyak teman wanita yang saling menyapa dan saling bercengkerama dengan akrabnya, mengalahkan intensitas percakapan dengan saya (pacarnya sendiri). Adakalanya saya cemburu dan memberitahukan kepada dia, tapi dengan entengnya dia bilang saya harus menekan rasa cemburu saya dan jangan membenci semua orang. Padahal yang perlu dia ketahui adalah bahwa perlakuannya seperti itu akan mendorong saya melakukan hal yang bisa memberi dampak yang sama. Dari situlah hubungan menjadi toxic.

Saya benci ketika saya sudah nyaman dengan kesendirian saya, sudah senang dengan pergaulan saya yang membuat lupa banyak masalah dan pada akhirnya saya kembali ke rumah dengan pikiran tentang "kapan dia akan mengirim pesan?".

Saya benci ketika saya sudah cukup bersabar dan merajuk tapi dia tetap kekeuh dan tidak memberikan perhatian/balasan yang seperti biasa dilakukan, malah dia menambah-nambah masalah dan membuatnya seolah kesalahan saya.

Saya benci ketika dia mengatakan ingin putus dengan mudah tanpa memikirkan konsekuensinya, lalu kembali dengan sejuta rasa tanpa memikirkan kesalahan yang sudah dia perbuat telah merenggut separuh keyakinan untuk bersama.

Saya benci ketika dia menyalahkan saya atas segala sesuatu yang saya perjuangkan, bukan hanya hubungan kami tapi juga orangtua dan saudara-saudara saya.

Saya benci, bahwa pada akhirnya kebencian saya bukan apa-apa lagi dan dipadamkan oleh rasa sayang pada dirinya dan kebergantungan yang sangat sehingga takut kehilangan dia.

Percayalah, saya juga sangat struggle dengn hubungan ini...
Saya menangis hingga akhirnya tak mampu lagi mengeluarkan air mata saat merasakan kepedihan.
Saya berteriak, hingga akhirnya hanya mampu menuangkannya dalam tulisan-tulisan singkat tersembunyi yang hanya bisa saya baca sendiri.
Saya marah, hingga akhirnya saya tersenyum pada setiap jengkal luka yang telah ditorehkan yang sudah tidak terasa lagi sakitnya.

Masih begitu banyak hal yang mungkin harus saya torehkan di sini, tapi tulisan apa lagi yang harus diungkapkan, sedangkan batin ini masih sesak dengan semua yang terjadi?

Pentingkah itu?

Komentar

Postingan Populer